-->

Kamis, 07 Juni 2012

LUNA MAYA “Saya Ketagihan Sutradarai Film”


Bisa diceritakan pengalaman saat pertama kali terjun sebagai seorang sutradara?
Sebelumnya sudah pernah bikin film pendek, tapi untuk film layar lebar baru pertama kali. Jadi lumayan tegang, lumayan deg-degan. Perasaannya semua campur aduk.
Menjadi seorang sutradara tentunya tidak mudah. Darimana Anda belajar ilmu sutradara?
Aku belajar otodidak. Lebih banyak menonton film, melihat proses syuting. Karena suka banget sama film jadi merasa ada ketertarikan. Kalau aku nggakterlalu gaul, tapi aku lebih banyak gaul sama orang di belakang layar dan banyak mendapat input dari mereka. Awalnya nggak mengerti akhirnya learning by doing. Fondasi aku otodidak, aku lewat feel saja. Kalau menurut aku bagus itu sudah cukup.
Apa kesulitan yang dihadapi saat mengawali karier sebagai seorang sutradara?
Sebenarnya kan tergantung kita maunya bagaimana. Kalau kita bisa mengendalikan semuanya, aku rasa kendalanya nggak akan ada karena yang pegang kendali di sutradara. Kalau sutradaranya bisa meng-handle dengan baik kru dan segala macamnya bisa baik-baik saja.

Mengarahkan, yang penting kita tahu apa yang kita mau. Jadi pas mengarahkan, “Oh gue sudah tahu harus kayak begini.” Untuk mendapatkan yang kita mau kita harus paham dahulu. Ketika mengarahkan pemain, aku harus mendapatkan apa yang aku mau.
Berdasarkan pengalaman saya waktu di-direct, yang benar-benar mengarahkan, membuat kita benar-benar terpacu.”Secara emosi gue harus bagus nihKok guekasih segini kurang ya. Berarti harus bisa lebih lagi”. Kayak begitu. Dibandingin sama sutradara yang kita kasih, dia terima saja. Membuat si pemain malah jadi males. Males untuk memberikan yang lebih yang dia punya.
Harus dilihat juga background pemainnya. Apakah dia senang dibegitukan. Pendekatannya pasti beda-beda. Mengenali karakter pemain dan nggak bisa dipukul rata.
Apa yang membuat Anda tertarik menjadi seorang sutradara? Siapa orang yang mendorong Anda menjadi sutradara?
Lebih karena suka film saja. Terus penasaran dengan proses syuting, proses produksi sebuah karya film apapun itu. Lebih karena suka berimajinasi saja. Selalu takjub dengan bagaimana orang bisa membuat sesuatu film yang bagus dan menarik. Jadi itu yang melatarbelakangi kenapa aku tertarik.
Apa kesulitan yang dihadapi ketika syuting film ‘Pintu Harmonika’, terlebih juga Anda bertindak sebagai produser?
Pada saat sudah mulai produksi, ya ikut dalam menentukan apapun. Tapi kalau sudah masuk ke kreatif aku serahkan sama co-produser aku, aku lebih fokus jadi sutradara. Jadi tidak begitu sulit membagi waktu.
Sebagai produser berarti harus mencari investor. Bagaimana Anda melakukan itu?
Balik lagi kepada konsep dan ide. Konsep dan ide ada harganya. Bagaimana orang yakin dengan konsep dan ide, apapun itu yang kita lihat punya potensi yang besar aku rasa semua orang bisa. Ada pasti. Ya susah-susah gampang sih. Ternyata kalau kita punya konsep dan ide itu menarik, suatu hal yang baru dan yakin banget bisa diterima, dan ternyata banyak pihak juga yakin.
Bisa diceritakan film ‘Pintu Harmonika’ ini tentang apa?
Ada tiga genre film, ada thriller, drama, dan komedi romantis. Di situ bercerita mengenai bagaimana kehidupan di ruko yang kebetulan bertetangga. Ketika pintu ruko itu tertutup, masing-masing kepala keluarga mempunyai problem yang berbeda-beda pula, dan itu yang ingin diangkat dan diceritakan dalam film ini.
Genre drama menceritakan tentang hubungan antara anak dan ayah yang komunikasinya kurang baik, sehingga membuat permasalahan muncul di situ. Ditambah lagi dengan problem keuangannya. Bagaimana suatu keluarga harussurvive dalam perekonomian keluarga ini. Jadi konfliknya lebih ke drama.
Terus cerita Sigi yang thriller, si anak yang merasa kehilangan dan mencoba menyelamatkan ibunya dari depresi karena kehilangan. Di filmnya Ilya bercerita tentang anak-anak SMA yang baru pertama kali jatuh cinta, yang kadang-kadang semua berpikir dia itu perfect, tapi ternyata dia menyimpan suatu kebohongan dan akhirnya terungkap di belakang. Lebih remaja, anak kecil, keluarga.
Kapan film ‘Pintu Harmonika’ tayang?
Rencananya akhir tahun karena kita nggak mau kayak keburu harus tayang. Kita maunya harus perfect dahulu semuanya, mau bagus. Kalau ada waktu kita ingin masukin ke festival dahulu.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk syuting film ‘Pintu Harmonika’?
Sekitar 12 hari. Mulai syuting 14 April 2012. Lokasi di sekitar Jakarta biar nggakbolak-balik. Jadi shift, karena ada scene sekolah sama ruko. Sekolah biasanya ambil gambar Sabtu-Minggu.
Bagaimana tanggapan orang terdekat soal profesi baru Anda sebagai sutradara?
Orang terdekat pastinya dukung. Semua teman mendukung, keluarga, fans. Siapapun yang dekat dengan saya. Ini kan bukan hal yang negatif. Ada kemajuan sebagai individu. Belajar, naik satu level. Positif sih. Banyak yang back-up, teman-teman banyak, sutradara, kru dan lain-lain.
Siapa sutradara dalam negeri yang jadi panutan Anda? Apa alasannya?
Dalam negeri banyak sih. Yang perempuan juga banyak, kayak Nia Dinata, Upi, Nan Achnas. Aku pernah kerja bareng sama dia. Menurut aku film dia yang ‘The Photograph‘ itu keren banget. Cuma nggak tahu kenapa banyak yang nggakmengerti. Banyak yang nggak suka padahal film itu keren, tapi mungkin kurang menghibur buat masyarakat kita. Mereka masih berpikir kalau film itu harus menghibur yang mewah atau bagaimana. Aku suka film-film yang ceritanyasimple, tapi maknanya lumayan kena.
Riri Riza, aku suka film dia yang '3 Hari untuk Selamanya'. Karena menurut aku, dia agak keluar dari dia. Maksudnya pas nonton ini jadi kayak bukan Mas Riri. Terus kalau kita bicara tentang Hanung, dia itu sutradara yang bisa bangetmelantunkan cerita dengan baik. Nonton film-film dia tuh kayak mengalir hampirnggak jumping-jumping.
Yang bikin mengalir itu yang susah banget. Mas Riri, Nia Dinata juga bisa. Mungkin karena pengalamannya sudah banyak, polanya sudah mengerti. Terus Joko Anwar dengan genre film yang selalu beda, agak gila. Menurut aku, semua film yang dikeluarkan oleh mereka perlu di-support dan aku pikir juga banyakcreator muda yang harus punya taste untuk membuat film bagus.
Membuat film bagus itu bukan berarti harus mahal, harus sok-sok film artnggakkayak gitu. Tapi penuturan ceritanya, pemilihan pas baca skrip dialognya, taste-nya harus bagus. Kalau teknik semua bisa dipelajari. Terutama aku, aku kanmasih awam banget, teknik, angle segala macam masih belajar. Cuma yang aku jaga adalah rasa si aktor dalam satu gambar, menyampaikan suatu rasa kira-kira bakal sampai nggak ya. Itu yang sebenarnya susah secara teknik.
Siapa sutradara luar negeri yang menginspirasi Anda?
Aku sukanya Woody Allen. Menurut aku isi filmnya menarik, kalau bisa dibilang sebenarnya filmnya simple dari pengambilan gambar dan secara look simplesemuanya. Nggak terlalu banyak special effect kayak James Cameron atau siapa yang benar-benar filmnya blockbuster, keren atau bagaimana.
Entah kenapa kalau Woody Allen membuat kita berpikir dengan dialog-dialognya yang cerdas, dengan cerita yang simple tapi bisa menarik bangetYa walaupun kadang-kadang film dia memang orang kadang suka, nggak mengerti karena banyak dialog. Ketika kita berusaha untuk mem-push kita untuk nonton sampai akhir, jadi kayak, “Gila gue suka banget film ini.”
Aku rasa di Indonesia belum banyak penulis skenario yang bisa membuat sesuatu tulisan yang cerdas. Dan dia itu kan pemain, directorwriter juga, dan menurut aku dia talented banget. Satu kesatuan orang yang benar-benar kalau mau bikin sesuatu, dia bisa semuanya. Lumayan aku takjub sama dia, lumayan ngefans sih.
Apakah ada keinginan untuk menyutradarai film yang lebih menantang?
Hmm we'll see hahaha.. Aku belum berani ngomong karena film ini belum lihat hasilnya. Inginnya sih lagi. Cuma masih deg-degan begitu, kayak pede nggak ya. Tapi akhirnya nyemplung juga sihNggak ada kata untuk balik. Jadi ya we'll see. Sudah nagih sih.
Secara pribadi Anda lebih suka dengan film bergenre apa? Dan apa film favorit Anda?
Semua genre. Aku nggak satu genre saja. Aku suka film-film yang unik, yang tiba-tiba bisa membuat pikiran, “Ih kok bisa.” Kayak filmnya Woody Allen. Aku terakhir nonton film 'The Descendants' juga bagus. Ceritanya simple, tapi rasanya kena banget ya. Kita sebagai penonton terbawa.
Terus kayak 'Drive'-nya Ryan Gosling yang keren. Terus ada film 'Submarine' tentang bully, tapi cara menceritakannya unik. Terus Sigi kemarin kasih lihat aku film Jepang judulnya 'Confession' itu agak sakit, keren. Kadang-kadang memilih film yang out of the box, jadi kayak, “Haa... ingin bikin film kayak begitu.” Filmnya Tarantino juga, yang sadis-sadis nyeleneh. Aku selalu takjub dengan orang-orang yang kok bisa ya punya ide seperti itu. Makanya aku suka nonton film biar ada referensi.
Bagaimana membagi waktu antara menjadi sutradara dengan pemain sinetron?
Ada beberapa bulan bikin film, kita fokus ke situ dahulu. Kalau berbarengan jadwalnya, nggak mau dipaksakan. Harus diatur, “Oke prioritas gue syuting dahulu atau bikin film dahulu.” Yang penting diinfokan ke berbagai pihak. Gue lagi film, nggak sinetron, ya izin. Kalau mereka mengiyakan aku ambil pekerjaan itu. Tapi kalau nggak bisa ya mendingan aku nggak ambil.
Pernah berkeinginan atau bermimpi suatu saat film yang Anda sutradarai bisa ditonton di luar negeri, seperti film ‘The Raid’ atau ‘Modus Anomali’?
Aku tidak menutup kemungkinan. Ingin sih iya. Kalau bisa dibeli kenapa nggak, tapi inginnya juga dipasarin di festival-festival. Tapi belum ada pembicaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar