-->

Sabtu, 14 April 2012

Interview Luna Maya, Sigi Wimala, dan Ilya Sigma Tentang "Perempuan Bikin Film"


Sore itu Boleh.Com berkunjung ke kantor 700 Pictures, sebuah perusahaan filem milik Putrama Tuta yang memproduksi Catatan Harian Si Boy(CHSB).
Bila CHSB terkesan sangat "cowok", maka hari itu kantor yang terletak di kawasan Kemang tersebut mendapat sentuhan "cewek". Hari itu tampak Luna MayaSigi Wimala dan Ilya Sigma yang sedang menatap layar laptop mereka masing-masing.
Ketiga wanita cantik tersebut sedang mengerjakan sebuah proyek film yang untuk sementara memakaiworking titlePerempuan Bikin Film (Lantai 1). (bacaartikel terkait hal ini).
Antusiasme yang amat besar terasa di ruangan tersebut, karena selain tiga serangkai wanita canti itu, hadir pulaGina S. Noer. Wanita ini adalah penulis naskah, sekaligus salah satu pendiri institusi Plot Point, bersama suaminya Salman Aristo. Hadirnya Gina di proyek ini untuk membantu pengembangan naskah proyekPerempuan Bikin Film (Lantai 1).
Dan di sela-sela kesibukan mereka mengerjakan Perempuan Bikin Film (Lantai 1), kami beroleh kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Luna Maya, Ilya Sigma dan Sigi Wimala dalam sebuah perbincangan yang santai.
Simak rekaman perbincangan kami dengan para sutradara wanita tersebut, berikut ini :

Boleh.Com :Proyek Lantai 1 atau Peremupuan Bikin Film ini kita sempat mendengar bahwa rencananya akan berkonsep lima sutradara wanita. Sekarang kenapa tinggal tiga saja?

Ilya Sigma (IS) : Kemarin sempat pengen lima. Cuma pas mau cari 2 lagi, kita sudah cocok bertiga. Ya udahkita bertiga saja. Pertimbangannya kalau lima sutradara juga akan lebih panjang dan lebih kompleks ceritanya.

Luna Maya (LM) : Ngapain maksain lima tadi akhirnya pending mulu. Kita udah sreg bertiga dan kita putuskan jalan aja.

Boleh.Com : Sigi dan Luna selama ini dikenal sebagai aktris yang berada di depan layar. Keputusan berada di belakang layar seperti ini apakah merupakan sebuah pernyataan jika kalian juga mampu menyutradarai?

Sigi : Mungkin kesempatan untuk berkarya. Aku dan Luna selama ini dikenal di depan layar, jadi ketika diberi kesempatan sama Tuta (Putrama Tuta, sutradara Catatan Harian Si Boy-red), kami antusias. Sebenarnya aku suka. Kemarin-kemarin bikin iklan, itu on demand aja. Tergantung permintaan klien. Tapi ini kita diberi kebebasan untuk bikin sesuatu, nunjukin karakter masing-masing secara treatment. Sekarang itu kesempatan lebih banyak sejak era digital untuk orang-orang bikin film. Masalahnya film seperti apa.

Boleh.Com Ada semacam tanggapan sinis dari beberapa pihak tentang semua orang yang bisa menjadi sutradara, meskipun tidak melalui pendidikan formal. Sinisme yang kemudian mempertanyakan kapasitas orang-orang yang mencoba menjadi sutradara. Tanggapan kalian?

SW : Kita fokusnya di story, sih. Kenapa kita lama banget di story, karena menurut kita yang paling penting itustory. Banyak yang bisa bikin shot-shot bagus. Buka saja Vimeo.Com dan kita akan menemukan gambar-gambar bagus. Tapi untuk apa shot bagus, tapi nggak ada ceritanya.

LM : Kalau saya berpikir itu wajar. Saya nggak mau membuktikan apapun, misalnya saya bisa menjadi directorI just try to make something, sesuatu yang saya suka banget. Jujur saya masih awam soal teknis. Kalau ada yangngomong nyinyir, saya percaya mereka lebih jago dan lebih pinter. Kita semua di sini baru belajar. Masalah berhasil atau nggak, semua akan tergantung seleksi alam. At least, we've tried our best. Kita cuma pengen nawarin sesuatu yang beda. Karena masyarakat sekarang sepertinya udah jenuh dengan film yang itu-itu aja.

Boleh.Com  : Pertimbangannya memilih Luna dan Sigi untuk menyutradarai?

Sigi Wimala (SW) : Yang milih Luna dan Tuta kok.

Luna : Saya milih Sigi karena dia udah pernah nyutradarai dan filemnya bagus banget. (Sigi Wimala pernah
menggarap klip video milik grup, RAN. Dia juga pernah menjadi sutradara salah satu film pendek di L.A Indie Light Movie, berjudul Boy Crush-red)
Dan kita kepikiran untuk mengajak satu orang yang belum pernah menyutradarai. Dan pas kita tawari Anggi (Ilya Sigma), dia mau. Ya udah, kita jalan.

Boleh.Com Saya melihat konsep Lantai 1 alias Perempuan Bikin Film akan memadukan tiga genre dalam satu filmKomedi romantis, drama dan thriller. Ide ini sebenarnya datang dari mana?

SW : Ide memadukan tiga cerita dan tiga genre awalnya datang dari Clara Ng. Ini sesuatu yang baru, karena biasanya film dengan banyak sutradara dan cerita umumnya memiliki tema dan genre yang sama. Dan ini bagian alasan dasar mengapa kita berfokus dengan 3 cerita saja. Pas kita analisa lagi ide Clara Ng, ini menarik banget. Yang penting ceritanya solid, dengan 3 genre yang kontras dan yang penting kita have fun ngerjainnya. Dari awalLuna cerita tentang ide ini, kelihatan ini bukan project kayak biasa. Yang penting kita happy with it dan hopefullypenonton merasa ini entertaining.

LM : Kadang-kadang kalau kita nonton omnibus, satu horor lalu semuanya horor. Kemarin sempat terpikir bikintentang cinta, tapi kemudian kita pikir lagi nggak lah. Kenapa bukan filem dengan latar dan tema yang berbeda-beda. Tapi, di cerita Lantai juga ada tentang cinta, tentang persahabatan dan tentang keikhlasan.

Boleh.Com : Naskahnya sudah sejauh mana?

IS : Sekarang sambil jalan. Sebentar lagi udah locked, sembari proses kasting juga.
Boleh.Com : Proses syuting Lantai 1 ( Perempuan Bikin Film ) ini kapan?Apakah akan back to back?

LM : Pertama yang syuting duluan mungkin ceritanya Sigi, kedua saya dan terakhir Anggi.

Boleh.Com : Kapan target film ini akan tayang?

IS : Kita nggak pengen menargetkan tayang kapan. Kita lihat dulu hasil filmnya gimana. Kalau ada festival yang cocok mungkin akan kita ikutsertakan.

Boleh.Com : Berarti film ini akan dilempar ke festival di luar negeri dahulu, sebelum ditayangkan di Indonesia? Apakah ini karena gairah menonton filem Indonesia sedang sepi?

SW : Tidak menutup kemungkinan untuk itu. We know, industri perfileman tanah air sedang menyedihkan. Tapi it doesn't mean we stop in making films. Itu sudah menuju the best of it. Jangan sampai mati suri kayak dulu lagi. Soal keputusan melempar film ini ke festival, saya pikir itu stratefi yang bagus. Nama baik Indonesia juga akan dibawa, sekalian untuk menjawab cynical questions soal kapabilitas kita bikin film. Tapi, rather make films than make nothing.

LM : Saya setuju. Mending bikin film, meski hasilnya biasa-biasa ajaAt least, we have tried to do it.

SW : Karena untuk membuat sesuatu butuh keberanian dan proses. Banyak film-maker muda yang sukses dan pasti aja komentar yang jelek. 

Boleh.Com : Kesulitan membuat film dengan banyak sineas di dalamnya adalah menyamakan persepsi dan tonefilem. Apalagi dengan 3 genre berbeda. Bagaimana kalian mengatasinya? 

LM : Makanya kita sadar kalau kita lepas masing-masing, maka akan kelihatan warna berbeda dari masing-masing cerita. Makanya kita putuskan d.o.p (director of photography) satu, asisten sutradaranya sama dan juga krunya. Cuma sutradaranya saja yang berbeda dari masing-masing cerita. Dan yang beda akan feel dangenre-nya. Bagaimana Sigi akan menyampaikan ceritanya, Anggi menyampaikan ceritanya dan saya menyampaikan cerita saya, namun dalam tempat yang sama. Kadang kita hidup bertetangga dalam satu lingkungan yang sama, sehari-hari bertemu, tapi kita tidak tahu apa di balik kehidupan masing-masing. Itu yang kita ingin angkat dan bagaimana kita menyatukan setiap cerita berbeda itu yang menarik.

SW Tone dan color masing-masing cerita akan sama. Karena d.o.p-nya sama, editornya sama dan post-production­-nya juga sama. Semuanya barengan. Tapi suasananya akan berbeda tergantung genre-nya.

IS : Semua akan sama, tapi masing-masing sutradara akan punya skema berbeda. Lagunya juga akan berbeda. Karena buat aku lagu itu penting banget untuk nyampein filemnya. Sebelum bikin filem atau cerita, lagunya dulu yang aku pikirin. Lagu apa nih yang sesuai untuk mood ceritaku. Dari masing-masing scene, aku pasti kasih referensi lagu tertentu. Sigi dan Luna juga punya list lagu masing-masing.

Boleh.Com : Jadi film ini bukan omnibus. Tapi film yang dipenuhi intertwined-story? 

SM : Intertwined sebab akibat sih nggak. Jadi, basically karena seluruh cerita berada di satu lokasi maka akan ada benang merah yang menghubungkannya. Setiap tokoh saling mengenal. Mereka bertetangga, tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di balik kehidupan tetangganya. Kita tidak bisa pungkiri bahwa kita suka nge-judgeorang. Dan ini konsepnya, yaitu bagaimana masing-masing tokoh menilai tokoh lain.

Boleh.Com Ceritanya akan diambil dari banyak point of view?

Ilya Sigma (IS) : Yang pasti kita akan menegaskan kekuatan masing-masing genre yang ada. Sigi denganthriller-nya, Luna dengan drama-nya dan saya dengan komedi romantis.

Boleh.Com Saya baca tadi Sigi mendapat genre thrillerBagaimana pemilihan masing-masing genre itu. Apakah ditentukan atau memilih sendiri?Atau pengaruh suami? 

SM : Itu pasti. Karena saya hidup dengan Timo (salah satu dari MO Brothers, sutradara Rumah Dara-red). Dia banyak menonton filem-filem ber-genre tersebut dan pasti saya terpengaruh banyak. Dan ketika saya disuruh memilih, saya bilang, "mau dong! Saya ingin coba,"

IS Genre saya komedi romantis dan karena karakter Rizal yang ada di cerita saya, mengingatkan seseorang dari masa lalu. ( Ilya kemudian tertawa sambil melirik Putrama Tuta yang ada di ruangan yang sama. Dan semua kemudian tertawa meledek). Mengingatkan pada diri sendiri sebenarnya. Tuta sering meledek saya ketika saya nge-gym, pas saya lari di thread-mill. Saya selalu ingin menambah kecepatan lari. Ketika saya diledek sudah agak gendut, saya lalu memutuskan untuk yoga dan latihan lain. Ada jiwa kompetisi yang kuat dari diri saya. Saya merasa karakter Rizal itu mengingatkan pada diri saya sendiri. Ada karakter Rizal di diri saya.

LM : Sigi dan Anggi sudah memilih genre masing-masing dan saya yang, "ya udah, saya drama aja,". ( Semua tertawa). Saya kebetulan suka menonton filem drama dan saya juga mellow. Lebih gampang bagi saya.

Boleh.Com : Tapi drama juga susah bukan?Apalagi bila harus berurusan dengan dialog-dialog yang harusnendang?

LM  : Kalau disuruh memilih, sebenarnya saya suka thriller. Saya juga suka komedi romantis. Tapi saya merasagenre drama itu relate sama kehidupan saya yang mellow. Dan ketika dikasih drama, ya sudah, saya coba. Dan saya lihat semua genre udah pas dengan masing-masing sutradara. Sigi dengan thriller dan Anggi dengan komedi romantis. Saya yakin feel-nya akan dapet.

IS : Kita juga di sini bukan bersaing. Kita bekerja sama demi film ini.

Boleh.Com : Durasi masing-masing cerita akan sama?Kira-kira berapa menit? 40 menit per cerita? 

IS : Sekitar 20 menit per cerita.

LM : Kita nggak kayak filem dengan banyak cerita lain yang matok harus berapa menit, sih. Kalau memang ceritanya butuh waktu yang lebih panjang atau lebih pendek, ya kita tutup sampai segitu.

IS : Kita tidak mematok harus 15 menit, 20 menit atau berapapun. Kalau informasinya sudah dirasa cukup, kita akan stop.

Boleh.Com : Jadi Lantai 1 (Perempuan Bikin Filmitu semacam filem yang menawarkan berbagai rasa dalam satu kemasan? 

LM : Iya. Kita kayak three in one (tertawa)

SM : Tapi dalam konteks family-friendlyThriller-nya juga nggak yang terlalu sadis. Intinya film ini untuk keluarga.

LM : Filem ini untuk semua umur. Bukan hanya untuk remaja saja, misalnya dalam segmen Otot. Orang tua bisa membawa anaknya juga. Ada ketegangan, tetapi bukan yang menimbulkan trauma. Inginnya masing-masing orang dengan umur berbeda relate sama ceritanya. Orang tua akan berpikir, "Oh, mungkin kita seperti itu,". Dan remaja yang menonton juga akan berpikir hal yang sama. Kalau dibilang klise bahwa film ini menawarkan suatu pesan, ya memang filem ini menawarkan itu. Kita nggak mau preaching juga.

Boleh.Com : Apakah proyek filem ini akan menawarkan suatu pernyataan? 

IS : Nggak juga sih. Kita menawarkan rasa.

SM : Filem ini akan memaparkan kesalahan-kesalahan setiap karakter yang kemudian ketika orang menontonnya, mereka akan tidak mau melakukan kesalahan yang sama.

LM  : Yang penting orang merasa terhibur. Itu sudah cukup. Kita nggak mengejar supaya penonton bilang filem inikeren banget. Kalau itu terjadi, sih alhamdulillah. Yang penting laku (tertawa). Satu lagi ini bukan film tentang Jakarta aja. Ini filem tentang cerita yang bisa terjadi di mana saja, tentang kehidupan. Kebetulan terjadi di Jakarta.

Boleh.Com : Kenapa setingnya memilih kompleks ruko (rumah toko) ? 

IS : Itu juga yang menarik ketika Clara Ng mengajukan ide ruko. Ini ide yang belum pernah digarap oleh sineas lain.

SW : Bayangin aja ada seorang anak kecil yang lahir dan besar di ruko. Pasti efeknya berbeda, karena orangtuanya
tinggal dan bekerja di satu tempat yang sama. Orang tua kita kan, tinggal dan bekerja di tempat yang berbeda. Di atas
tempat hidup, sedangkan di lantai bawah tempat mencari kehidupan. Konflik yang tercipta juga kemudian berbeda. Ditambah pembangunan ruko sekarang ada di mana-mana. Kita ingin mengangkat hal itu juga.

LM : Ini sesuatu yang beda. Filem yang mengangkat suatu lingkungan di kampung atau kompleks perumahanudah ada. Di rumah susun dan apartemen juga udah ada. Dan ketika Clara Ng mengajukan ide filem yang terjadi di ruko dengan cerita berbeda-beda, kita langsung tertarik. Jadi akan merangkum semua strata sosial yang ada di suatu lingkungan yang sama.

Boleh.Com : Permasalahan ketika membuat sebuah filem dengan banyak cerita dan sutradara adalah urusan ego masing-masing sineas yang ingin menonjolkan ceritanya sendiri. Apakah pemilihan tiga genre berbeda ini adalah salah satu jalan mengatasi timbulnya ego itu? 

LM : Itu juga sangat membantu banget. Kalau genre dan temanya sama akan ada ego yang bermain. Namanya manusia kan. Walaupun bilangnya nggak, ego masing-masing sutradara pasti akan muncul. Ya, kayak gue nggak mau cerita gue dipotong atau hal-hal semacam itu. Dengan adanya genre yang berbeda, semua saling membantu dan menguatkan.

IS : Tapi dari awal kita sepakat, ini adalah best formula untuk semua.

SW : Kita ingin Lantai 1 kemudian jadi satu filem dengan satu kesatuan yang bagus. Kalaupun berbeda, yakarena genre-nya beda. Dan satu penonton mungkin akan suka dengan salah satu genre yang ada di filem ini.

Boleh.Com : Kalau thriller-nya sendiri akan lebih ke psychological thriller, slasher atau yang bagaimana? 

SW : Oh, nggak. Ini untuk family, jadi lebih ke thriller imajinatif seorang anak umur 9 tahun. Tidak dipungkiri, imajinasi seorang anak kecil kadang-kadang run wild to the point that imajinasi yang parno-parno kayak anak kecil gitu deh. Jadi thriller-nya harmless. Dari mood­-nya aja beda lah dari thriller dewasa.

Boleh.Com : Tidak bisa dipungkiri, di industri perfileman, sineas wanita seringkali dipandang sebelah mata. Menurut kalian apa yang membuat karya seorang sutradara wanita layak untuk disaksikan dan ditunggu? 

LM : Saya suka filemnya Mbak Nan (Nan T. Achnas) dan Upi. Dan mereka punya karakter masing-masing. Mungkin kalau sutradara pria lebih memahami teknis. Mereka tahu tentang kamera dan masalah-masalah teknikal lain. Aku pribadi masih awam soal teknis. Aku percaya kalau bikin filem, rasa itu yang terpenting. Kalau sebuah filem dibuat oleh sutradara perempuan, rasanya akan lebih nyampe. Apalagi kalau filemnya tentang perempuan. Karena ada hal-hal yang lebih diketahui oleh perempuan tentang perempuan yang lelaki tidak tahu.

IS : Mungkin lebih detail soal karakterisasi dan artistik. Perempuan lebih detail ke hal-hal kecil.

SW : Menurut saya, sutradara wanita itu lebih sensitif dalam menyampaikan cerita. Tapi, sutradara cewek dan cowok itu sebenarnya sama. Mungkin memang sutradara cowok lebih banyak. Tapi tidak dipungkiri, sutradara cewek sekarang performance-nya luar biasa. Sepertinya mantan istri James Cameron (Kathryn Bigelow-Hurt Locker), misalnya, dia menang Oscar untuk sutradara terbaik. She's really good. Ada juga Sophia Coppola, Mira Nair, terus yang bikin video klip dan film Runways (Floria Sigismondi-red). Mereka membuktikan mereka bagus dan unggul dibandingkan sutradara cowok.

Boleh.Com : Jadi apakah Lantai 1 akan "cewek banget"? Mengingat ada penonton pria yang tidak suka menonton film
buatan sutradara perempuan karena dianggap akan lambat dan melankolis.

IS : Nggak sih. Karakter utama cerita saya laki-laki. Dan saya sudah riset untuk itu.

LM : Kalau saya lebih ke drama keluarga. Cerita saya kan tentang bully. Dan sudut pandangnya akan dari orang yang nge-bully. Biasanya kan selama ini dari sudut pandang yang di-bully. Kadang-kadang kita tahu ada orang yang suka neg-bully seseorang, tapi kita nggak tahu kenapa dia melakukan bully ke orang lain. Kita tahu di­-bullyitu rasanya sakit. Gue tahu karena gue suka di­-bully. (Tertawa). Gue willing untuk berbesar hati ingin tahu, kenapa seseorang nge-bully orang lain. Mau nge-bully atau di-bully itu pilihan. Poin yang mau gue angkat adalah orang yang suka nge-bully orang lain, karena dia sering di­-bullyGue percaya itu. Mereka tidak bisa mengontrol itu. Mereka nge-bully orang lain supaya mereka terlihat kuat dan menutupi kelemahan diri sendiri. As simple as that.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar